.
Barometerkepri.com | BATAM, Dugaan praktik kongkalikong antara Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan (Perkim) Provinsi Kepulauan Riau dengan kontraktor pelaksana proyek kembali mencuat ke permukaan. Hal ini terungkap setelah wartawan media ini berupaya melakukan konfirmasi terkait proyek semenisasi jalan menuju SMK Negeri 9 Tanjung Piayu, namun Kepala Dinas Perkim Kepri, Said Nur Syahdu, justru memblokir kontak wartawan di aplikasi WhatsApp.
Sikap tersebut memunculkan pertanyaan besar dan kecurigaan publik terhadap transparansi pelaksanaan proyek tersebut. Pasalnya, tindakan seorang pejabat publik yang menutup akses informasi dianggap sebagai bentuk penghalangan kerja jurnalistik, sekaligus mengindikasikan adanya sesuatu yang disembunyikan dari publik.
Sumber internal menyebutkan, proyek semenisasi di kawasan Tanjung Piayu tersebut diduga dikerjakan oleh CV Dua Putra Gemilang, dengan inisial pelaksana “A”. Namun, ketika dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp pada Sabtu (8/11/2025), pihak kontraktor juga tidak memberikan tanggapan apa pun terhadap pertanyaan yang diajukan awak media.
Sikap diam dari dua pihak ini — baik dari dinas maupun kontraktor — menimbulkan dugaan kuat adanya praktik kolusi atau kongkalikong dalam proses pelaksanaan proyek, mulai dari penunjukan kontraktor, kualitas pekerjaan, hingga pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
Beberapa warga di sekitar lokasi bahkan menilai pekerjaan semenisasi tersebut tidak sesuai spesifikasi teknis, di mana kondisi jalan masih berlumpur dan tampak tidak diratakan dengan baik meski proyek dinyatakan hampir rampung.
Jika benar terdapat kerja sama tidak sehat antara pejabat dinas dan pihak kontraktor, maka praktik ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menegaskan bahwa “setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”
Selain itu, tindakan menutup akses informasi publik juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui penggunaan anggaran negara dan pelaksanaan kegiatan pembangunan.
Sementara, tindakan menghalangi kerja wartawan dalam memperoleh, mengolah, dan menyampaikan informasi publik merupakan pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan:
“Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”
Dengan demikian, memblokir atau menolak memberikan keterangan kepada wartawan dalam konteks peliputan publik dapat dikategorikan sebagai tindakan tidak kooperatif dan berpotensi menghambat fungsi kontrol sosial pers.
Masyarakat mendesak agar Aparat Penegak Hukum (APH) turun tangan untuk memeriksa kejanggalan proyek tersebut. Dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan proyek semenisasi harus ditelusuri, mulai dari proses tender, pengawasan teknis, hingga pertanggungjawaban keuangan.
“Proyek seperti ini tidak boleh dibiarkan. Kalau memang ada permainan antara dinas dan kontraktor, aparat penegak hukum harus menindak tegas sesuai tupoksi mereka,” ujar salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Kasus ini menjadi pengingat keras bagi seluruh pejabat publik agar tidak bermain-main dengan uang negara. Proyek pembangunan yang dibiayai dari APBD atau APBN wajib dikelola dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme (KKN).
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Dinas Perkim Kepri maupun CV Dua Putra Gemilang. Redaksi akan terus melakukan penelusuran dan memantau sikap Inspektorat Kepri, DPRD, serta aparat penegak hukum terhadap dugaan penyimpangan proyek ini.
Jika benar terbukti ada praktik kolusi dan penyalahgunaan kewenangan, maka hal tersebut bukan hanya pelanggaran etik birokrasi, tetapi tindak pidana korupsi yang harus diproses secara hukum.
(Tim)

