Pemberian Amnesti dan Abolisi Kasus Korupsi Hasto dan Lembong Penghianatan Terhadap Amanat Reformasi dan Rasa Keadilan Publik
Barometer Kepri.com | Batam – Wacana pemberian amnesti dan abolisi terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan tokoh politik nasional, Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong, merupakan langkah yang tidak hanya melukai rasa keadilan publik, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan nyata terhadap amanat reformasi 1998 yang menjadikan pemberantasan korupsi sebagai pilar utama perubahan bangsa.
Tidak mengherankan jika gelombang penolakan dari masyarakat dan aktivis antikorupsi terus menguat. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum administratif, melainkan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merampas hak-hak dasar rakyat, menghancurkan pelayanan publik, memperdalam kemiskinan struktural, dan menciptakan ketimpangan sosial yang akut. Memberikan ruang impunitas melalui amnesti atau abolisi justru sama saja dengan meludahi cita-cita reformasi dan mempermainkan nurani publik.
Hukum tidak boleh dijadikan alat tawar-menawar politik. Apalagi bila menyangkut kejahatan korupsi politik. Negara ini tidak boleh tunduk pada kepentingan elite, melainkan harus berdiri tegak atas prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Secara prinsip, pemberian amnesti dan abolisi memang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa Presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Namun, secara etis, konstitusional, dan moral, ketentuan ini tidak dapat dan tidak boleh digunakan untuk membebaskan pelaku kejahatan terhadap keuangan negara. Korupsi bukan kejahatan politik, melainkan kejahatan publik yang dampaknya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Ini bukan sekadar perdebatan prosedural atau teknis hukum. Ini adalah soal moral publik dan legitimasi negara di mata rakyat. Jika pelaku korupsi diberi ruang hidup dan dimaafkan atas nama rekonsiliasi atau kompromi kekuasaan, maka negara secara terang-terangan telah menghianati kepercayaan rakyat yang menginginkan pemerintahan bersih dan berintegritas.
Karena itu, wajar jika penolakan keras terhadap wacana ini disuarakan oleh masyarakat sipil, pegiat antikorupsi, akademisi, dan kelompok prodemokrasi. Gerakan moral ini harus diperluas, diperkuat, dan dijadikan kekuatan rakyat untuk menolak segala bentuk impunitas terhadap pelaku korupsi.
Jika negara mulai kompromi dengan koruptor, maka jangan salahkan rakyat bila kepercayaan terhadap hukum benar-benar runtuh.
Republik ini tidak boleh dibiarkan dikendalikan oleh mereka yang hendak menghapus dosa besar dengan kekuasaan. Sebab korupsi bukan hanya soal hukum, melainkan juga soal keadaban.
(Red)
Post a Comment